Tweetilmu.web.id - Sebuah karya sastra diciptakan tidak serta-merta tanpa adanya keresahan yang ada dalam diri seorang penulis, keresahan tersebut biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada disekitar penulis, lingkungan misalnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Frasa De Bonald “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat”
Oleh karena itu sadar maupun tidak, sebuah karya sastra seringkali mengadopsi realitas kehidupan kedalam sebuah dunia fiksi tanpa batas, digodok dengan imajinasi sang penulis yang bersifat indah, kemudian direpresentasikan ke dalam bentuk tulisan, dan terciptalah sebuah karya sastra.
Menulis karya sastra tidak hanya semata-mata menampilkan keindahan, akan tetapi juga memiliki makna yang mengandung pesan kepada para pembaca. Seorang apresiator sastra Harold Leonard Birch Moody pernah mengungkapkan bahwa karya sastra bukan hanya bahasa yang dipakai untuk mengaplikasikannya, melainkan juga dianggap sebagai suatu pernyataan yang kompleks dan luas tentang penulis kepada pembacanya.
Novel Balada Si Roy merupakan karya dari seorang penulis yang cukup fenomenal di Banten, mengisahkan tentang kehidupan remaja laki-laki yang haus akan penemuan jati diri, seseorang yang juga tangguh dan mandiri, maka wajar hobinya berpetualang, mungkin akan lebih akrab dengan sebutan pecinta alam, tokoh utama dalam novel ini adalah Roy.
Kehidupan remaja si Roy banyak sekali dipenuhi dengan sensasi dan juga kesedihan, baik Roy yang merasa sedih maupun orang-orang disekitarnya, Roy dikenal sebagai anak yang cukup tampan dan playboy, maka tak jarang kehadirannya menjadi magnet tersendiri bagi kaum hawa.
Beberapa orang yang ingin berkembang memilih mengadu nasib ke Jakarta, Bandung atau Yogyakarta. Kita mengenal nama komedian Bing Slamet, sutradara aktor Slamet Rahardjo, Djarot dan adiknya Eros Djarot, juga grup lawak Bagito. Mereka sadar bakatnya di bidang seni tidak akan berkembang jika terus tinggal di Banten, sayangnya setelah sukses mereka tidak pulang menularkan keberhasilannya pada anak muda. (Balada Si Roy: 16)
Selain karena ceritanya, hal lain yang menjadikan novel ini menarik adalah terdapat sejumlah keterkaitan antara isi novel dengan realitas kehidupan. Mulai dari kutipan di halaman 16 mengenai gejolak urbanisasi yang tak henti, yang kemudian dapat diketahui bahwa budaya urbanisasi dari desa ke kota sudah ada sejak dulu, seperti yang dilakukan oleh seniman Bing Slamet dan aktor Slamet Rahardjo, masyarakat banten yang mencoba mengadu nasib di kota-kota besar dengan dalih, bakatnya di bidang seni tidak akan berkembang jika terus tinggal di Banten, dan bahkan hingga saat ini kebiasaan itu tak kunjung usai, bahwa kota Jakarta masih menjadi primadona bagi orang yang ingin mengadu nasib, meski tak ada jaminan akan hidup bahagia.
Alun-alun kota Serang November 1984 masih alamiah, ketinggalan zaman tapi justru membuat hati nyaman, seperti taman yang indah bisa menikmati angin yang bertiup lembut tanpa polusi, tua tapi tidak berisik, dan sibuk tidak ternoda nilai-nilai moral manusia yang sudah luntur seperti di alun-alun Bandung yang selalu ramai oleh ketawa genit perempuan “lima ribuan” menjajakan tubuh yang bau parfum murahan. Ibarat jualan pisang goreng saja, lantas kita diombang-ambingkan kenyataan harga kehormatan perempuan untuk zaman sekarang sudah kalah bersaing dengan harga 1 gram emas. Di kota ini orang-orang lebih betah berada di dalam rumah, karena di alun-alun hanya ada pohon asam yang memagarinya dan beberapa tukang becak terlelap tidur di sela-selanya. (Balada Si Roy: 131)
Berlanjut ke halaman 131 , terdapat sebuah pesan implisit mengenai dekadensi moral yang dimana remaja dengan mudah menjajakan dirinya, memang hingga saat ini masih terbilang ironis bahwa kehadiran teknologi, kemajuan dalam penguasaan Iptek justru menjadi modal dasar sebagian remaja masa kini untuk menjajakan dirinya, di sejumlah sosial media yang sedang hype, hingga bahkan ada yang sampai berniat melakukan transaksi secara terang-terangan.
Dullah seolah kebal hukum, seperti anggota dewan saja titik ayahnya yang jawara sangat berpengaruh, terutama uangnya. (Balada Si Roy: 54)
Selanjutnya kembali ke halaman 54 , terdapat sebuah kutipan yang mengandung pesan implisit dan masih relevan dengan kondisi saat ini, yakni premanisme yang menjelma menjadi dinasti politik. Premanisme sosial memang sudah jarang terjadi, hanya saja beralih ke ungkapan yang lebih keren yakni dinasti politik, di beberapa daerah bila dicermati masih banyak praktik dinasti politik yang kemudian berpotensi menjelma menjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Jika melihat di sejumlah kasus hukum yang melibat pejabat publik, terlebih partai yang memiliki kongsi dengan pemerintah, pasti hukum yang mestinya tegak akan dicari celah untuk membengkokannya, menjadi suatu rangkaian yang sangat panjang, terus mengupayakan pengurangan masa hukuman, bahkan berujung pada kebebasan.
Sastra bisa menjadi sarana mengungkapkan sebuah keresahan, terkadang terdapat sebuah kalimat atau bahkan paragraf yang dibuat dengan bentuk “tanda tanya”, artinya terdapat pesan implisit berupa kritikan terhadap kondisi dan situasi yang mungkin saja turut diperihatinkan dan menjadi keresahan seorang penulis.