Harapan (Cerpen)

"ya tuhan, permudahkanlah setiap langkahku, wujudkanlah satu impianku, impian yang kumau sejak dulu".

Setiap manusia tentu punya harapan, akupun begitu, berharap masuk ke sekolah favorit, sekolahnya orang-orang pintar, orang yang bergengsi, setiap malam aku selalu berdoa, "ya tuhan, permudahkanlah setiap langkahku, wujudkanlah satu impianku, impian yang kumau sejak dulu".

Banyak orang bilang, bahwa apa yang baik menurutku, belum tentu yang terbaik untuk jalan hidupku kedepannya, akupun tak memungkiri hal itu, tapi apa salahnya menitipkan harapan pada tuhan.

Ilustrasi Cerpen Harapan

Paginya, aku bangun dari mimpi yang masih menjadi mimpi, mulutku terus komat kamit mengucapkan doa, mengingat 10 menit lagi tiba waktunya, pengumuman siswa yang lolos seleksi masuk sekolah favorit, aku sudah siap menerima apapun hasilnya, smartphone jadul yang sedari tadi aku genggam, mulai aku beri instruksi, merefresh hasil pengumuman yang akan muncul sebentar lagi, aku lihat kearah jam tangan, jarumnya menunjuk tepat pukul 9, itu tandanya, sudah tiba waktunya.

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, jari tanganku agak bergetar tiap kali menggeser layar ponsel, mata ku menatap tajam, menatap setiap nama ratusan manusia yang telah muncul lebih dulu, astaga, dimana nama ku.

Layar ponsel itu terus aku amati, selang beberapa saat, diriku dikejutkan oleh rasa yang hadir berbarengan dengan apa yang orang sebut dengan bahagia, Alhamdulillah nama ku ada di urutan 213 dari 216 siswa yang diterima, luar biasa, akhirnya mimpiku terwujud jadi realita, rasa syukur terus berdatangan menyalami rasa bahagia, yang sudah lebih dulu tiba.

Buru-buru aku pergi kedapur, sambil sesekali berteriak kegirangan "bu...ibu..." Masih tidak ada jawaban. “Bu... ibu kenapa?" Tanya Ridho yang kini melihat mata ibunya sembab, air mata pun masih tersisa dibeberapa sudut, "iya ada apa nak?" Tanya ibu, sambil mencoba mengatur napas, dan memberikan senyuman sebisanya. "Aku masuk sekolah favorit bu, nama aku ada di sekolah impianku" jawab ridho sambil berjalan memeluk ibunya.

"Semoga jalan kamu menjadi orang sukses dilancarkan ya nak" ucap ibu, lirih. Ridho hanya mengangguk pelan.

Ibu memang tidak pernah bercerita kepadaku, namun aku tau, pasti ibu memikirkan biaya sekolahku, sekolah memang gratis, tetapi tentu perlu biaya untuk keperluan lainnya.

***

Pagi ini aku sudah mulai masuk sekolah, namun masih dalam tahap masa orientasi sekolah, yang telah direncanakan selama 3 hari kedepan, beberapa atribut telah aku gunakan, bekal makanan yang telah disepakati turut kubawa didalam tas, walau ada satu hal yang aku hindari, yakni tomat, sedari kecil aku tidak menyukai buah yang terkadang masuk kedalam jajaran nama sayuran itu, rasanya aneh bagiku.

1 hari, 2 hari, 3 hari telah aku lewati, walaupun waktu kini agaknya berjalan lambat, rasanya jarum detik bergerak memutar kiri dua kali, baru kemudian memutar kekanan sekali. Kini tiba saatnya para siswa diberikan pengumuman tentang harga seragam yang harus segera dibayarkan, untuk memantaskan diri bahwa kini jenjang sekolah telah berganti, naik satu tingkat, ke tingkatan pertama.

Bel berbunyi lebih cepat dari biasanya, maklum lah, belum ada kegiatan belajar mengajar, segera aku ambil tas ransel yang aku beli dua tahun lalu, berjalan keluar kelas, menuruni anak tangga dengan perlahan, karena kondisi habis hujan, lantainya licin, kemudian aku menoleh ke arah lapangan, ada beberapa kakak kelas yang sedang asyik main bola, meski lapangan digenangi air, tak jarang dari mereka pun terpeleset jatuh, namun dari raut mukanya mereka tampak bahagia, walaupun jatuh beberapa kali, namun tetap saja ketawa, aku terus berjalan, melewati 2 kelas elit, disebut kelas elit karena hanya 2 kelas itulah yang menggunakan pendingin ruangan alias AC.

Kini kaki ku sudah melangkah kedepan gerbang, perlahan aku amati abang-abang tukang jajanan, rasanya aku ingin sekali membeli dan menyicipi, tapi aku melihat saku, tak ada satupun lembaran uang yang kupunya, yasudah biarkan aku memerintahkan mata untuk tak acuh terhadap suasana sekitar, aku paksa perut untuk menunda rasa lapar, dan kugerakan kaki memantapkan tujuan, yakni pulang ke rumah.

***

Malam harinya aku berbicara kepada ibu mengenai seragam sekolah yang wajib aku beli, tentu aku telah menduga jawabannya "sebentar ya nak, ibu belum punya uang, nanti kalau udah punya uang, ibu akan bayarkan semuanya" jawab ibu.

Tentu aku tidak bisa memaksa, karena aku juga memahami kondisi ekonomi keluargaku saat ini. Hufftt... Kini aku hanya bisa menghela nafas, duduk dihalaman depan rumahku, melihat bulan, sambil sesekali berharap aku bisa melihat bintang jatuh, karena konon katanya, bintang jatuh akan merubah harapan menjadi realita, tentu akupun percaya tidak percaya, tapi aku cuma penasaran dan hanya ingin membuktikan apa yang dibicarakan orang orang, dan aku tak juga menemukannya, cuma pesawat yang sedari tadi berseliweran di langit malam.

***

Genap 1 bulan aku bersekolah di sekolah yang katanya favorit, prestasi ku berjalan mundur, pikiran ku tak bisa fokus mencerna setiap pelajaran yang ada, belum lagi soal seragam yang tak kunjung bisa aku beli, sedih rasanya, ketika yang lainnya memakai seragam batik, sedangkan aku hanya menggunakan seragam putih-biru.

"Kapan ya aku bisa menggunakan seragam sekolah seperti yang lainnya."

Hari senin adalah hari yang paling aku benci. Sebetulnya bukan karena harinya, tapi karena sekolah melaksanakan upacara, tapi juga bukan karena upacara, aku kuat kok berdiri dan tidak mengobrol selama upacara berlangsung, yang aku tidak kuat adalah, ketika salah satu guru BP memberikan pengumuman sebelum upacara dimulai, guru yang dikenal sebagai pemberantas siswa yang kurang disiplin,

Guru BP berkata, "tolong bagi siapa saja yang merasa atribut seragamnya kurang lengkap maju kedepan, berdiri di depan" ucapnya sambil memasang muka sangar.

Aku terpaksa maju ke depan karena aku tidak menggunakan topi, dan juga rompi (seragam wajib saat upacara) aku tidak kenakan karena aku belum sanggup membeli, omongan guru BP tadi seakan akan menggema dalam telinga, karena bukan cuma sekali aku disetrap kedepan, menghadap ke arah siswa yang sesekali mentertawakan, belum lagi jika nantinya ada hukuman tambahan, kadang aku dijewer, disuruh squat jump, push up, bahkan harus rela masuk ke kelas belakangan karena harus hormat dihadapan tiang bendera, menghadap ke atas, melihat ke arah bendera yang berkibar dengan gagah.

***

Aku tak ingat lagi sudah berapa banyak upacara yang telah aku ikuti dengan rasa sedih, sedih karena harus selalu disetrap, aku sudah mencoba berbicara terkait masalahku selepas upacara berakhir, namun apa kata mereka, "kamu ini sudah salah malah membantah, saya gak terima alasan kamu"

Rasanya aku ingin menangis, karena mereka pun tak ada yang mempercayai ku, aku juga sedih tatkala aku ditanya oleh ibu, "Gimana nak sekolah kamu, kok sekarang nilai nilai kamu turun, kamu ada masalah apa disekolah? Oh iya urusan seragam, maafin ibu ya nak, ibu juga gak bisa berbuat banyak" ucap ibu, berbicara dengan nada lembut, diiringi dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku pun tak mungkin banyak bicara, dan tak tega ingin bercerita tentang hal yang sebenarnya, apalagi jika aku tau, setiap tengah malam ibuku selalu menangis sendu, dihadapan tuhan, pemilik alam semesta.

Jujur, mental ku sangat jatuh, apalagi jika besok adalah hari dimana aku harus upacara, terkadang setiap malam senin sebelum tidur aku berdoa kepada tuhan "ya tuhan, mudah mudahan besok Ridho sakit, biar gak ikut upacara bendera, Ridho malu tuhan kalo terus-terusan di setrap" dan tak jarang juga tuhan mengabulkan doa ku yang paling ngawur itu, sudah 2 minggu dihari yang sama, yakni hari senin, aku izin sakit, dan aku benar benar sakit, sakit demam, anehnya setelah hari berganti, aku kembali sehat, Alhamdulillah.

Ketika harapan hampir musnah, dan dalam pikiranku, sekolah tak lagi berguna, apalagi kalau lihat sila kelima pancasila, bicara soal keadilan, tapi adil tak berpihak kepada orang seperti ku, akhirnya tiba waktunya ada seorang teman, namanya febriana, ia menarik tanganku, untuk pergi ke koperasi (tempat segala keperluan sekolah termasuk seragam dijual)

Ada kejutan katanya, aku pun menurut saja, dan ternyata di sana ada orangtuanya, tentu saja aku menegur sapa dan mencium tangannya, aku berkata "maaf bu, kenapa saya diajak kesini ya?" Orangtua febriana pun menyerahkan beberapa paket seragam sekolah yang masing masing dikemas rapih dalam plastik, ia pun menjawab diiringi dengan senyuman "ini seragam buat kamu, mudah-mudahan kamu mau ya terima bantuan dari tante, febriana udah cerita semuanya ke tante" rasa haru bercampur dengan rasa bahagia pun penuh mengelilingi pikiran ku, tak ada kata yang bisa membalas kebaikan yang aku terima saat ini, namun dengan segenap syukur diselingi dengan senyuman lebar aku berkata "terima kasih ya bu"

Hidup aku memang sangat tertutup, aku bukan tipikal orang yang mampu menceritakan Masalah yang aku hadapi ke orang lain termasuk teman ataupun ibuku, itulah yang terkadang membuatku pusing kebingungan.

Tapi rasa syukur pun tak henti hentinya aku ucapkan kepada tuhan "Alhamdulillah" bagaimana tidak, inilah harapan yang sudah seringkali aku semogakan, akhirnya harapan disambangi oleh realita.

***

Aku pulang kerumah dengan langkah bahagia, tak ada lagi rasa kecewa yang berani menemuiku, semuanya sirna. Sesampainya dirumah, aku bergegas mencari ibu, dan ketika kami saling berhadapan, ibu heran, dan akhirnya bertanya "ada apa nak, kamu kayaknya lagi seneng banget hari ini"

"Ibu, ini ada temen Ridho yang belikan Ridho seragam, jadi kita gak perlu beli lagi"

Aku lihat ada air mata yang menetes jatuh secara perlahan, sementara bibirnya bergetar namun samar mengucapkan suara, Alhamdulillah.

“Aku tidak tau kapan ujian berat akan datang dan aku pun tidak bisa menebak, kapan semuanya akan berakhir, namun bagaikan manusia yang sedang berjalan, jangan sampai hanya karena lubang besar diujung jalan kita menghentikan langkah, namun juga jangan sampai kita terjerumus ke lubang itu, yang kita butuhkan adalah cara, iya cara, cara bagaimana melewati ini semua, sementara sabar adalah kuncinya.”

Cerpen ini merupakan Karya Kelima Naufal Al Rafsanjani, mudah-mudahan tulisan saya sedikit memotivasi para pembaca :)

Baca Juga:

Tentang Penulis

Hidup adalah untaian makna dari kata yang ditulis semesta

Posting Komentar

Mari kita diskusikan bersama...
Gunakanlah kata-kata yang sopan, dengan tidak menggunakan unsur-unsur kekerasan, sara, dan menyudutkan seseorang. Terima Kasih
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
[]